Sisingamangaraja XII
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
| Sisingamangaraja XII |
| Maharaja Toba |
 |
| Lukisan Sisingamangaraja XII berdasarkan lukisan yang dibuat oleh Augustin Sibarani, kemudian tercetak di uang Rp 1.000 |
| Pemerintahan |
1876–1907 M |
| Nama lengkap |
Ompu Pulobatu |
| Gelar |
Raja Imam |
| Lahir |
18 Februari 1845 |
| Tempat lahir |
Bakara |
| Wafat |
17 Juni 1907 |
| Tempat wafat |
Dairi |
| Makam |
Pulau Samosir |
| Pendahulu |
Sisingamangaraja XI |
| Penerus |
- |
| Dinasti |
Sisingamangaraja |
| Ayah |
Sisingamangaraja XI |
| Anak |
Patuan Nagari
Patuan Anggi
Lo Pian |
Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara,
18 Februari 1845 – meninggal di Dairi,
17 Juni 1907 pada umur 62 tahun) adalah seorang
raja di negeri
Toba,
Sumatera Utara, pejuang yang berperang melawan
Belanda, kemudian diangkat oleh pemerintah
Indonesia sebagai
Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 9 November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961. Sebelumnya ia makamkan di
Tarutung, lalu dipindahkan ke
Balige, dan terakhir dipindahkan ke
Pulau Samosir.
[1]
Ia juga dikenal dengan
Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik tahta pada tahun
1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain itu ia juga disebut juga sebagai
raja imam. Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di negeri Toba bersamaan dengan dimulainya
open door policy (politik pintu terbuka)
Belanda dalam mengamankan modal asing yang beroperasi di
Hindia-Belanda, dan yang tidak mau menandatangani
Korte Verklaring (perjanjian pendek) di
Sumatera terutama
Kesultanan Aceh dan
Toba,
di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa
lainya. Di sisi lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan
monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong
situasi selanjutnya untuk melahirkan
Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.
Perang melawan Belanda
Pada tahun 1877 para
misionaris
di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial
Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah
Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas
Si Singamangaraja XII di Bangkara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh
Toba.
Pada tanggal
6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil
Ingwer Ludwig Nommensen.
Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah
pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng
pertahanan. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi
Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan
pulas (
perang) pada tanggal
16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.
Pada tanggal
14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang
tentara dari
Sibolga. Pada tanggal
1 Mei 1878, Bangkara pusat pemerintahan Si Singamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada
3 Mei 1878
seluruh Bangkara dapat ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta
pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi.
Sementara para raja yang tertinggal di Bangkara dipaksa Belanda untuk
bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan
pemerintah
Hindia-Belanda.
Walaupun Bangkara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara
gerilya,
namun sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu
Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh
pasukan kolonial Belanda.
Antara tahun 1883-1884, Singamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya. Kemudian bersama pasukan bantuan dari
Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belanda antaranya Uluan dan Balige pada Mei
1883 serta Tangga Batu di tahun
1884.
[1]
Kontroversi Agama Sisingamangaraja XII
Cap Mohor Sisingamangaraja XII
Agama yang dianut oleh Sisingamangaraja XII adalah agama asli Batak.
Namun sudah sejak zaman Belanda terdengar isu bahwa menjelang tahun
1880-an Sisingamangaraja memeluk agama
Islam. Yang pertama menyebarkan desas-desus bahwa Singamangaraja XII telah menjadi seorang Muslim adalah para penginjil
RMG (Rheinische Missionsgesellschaft).
Mereka tiba pada kesimpulan tersebut karena pada saat itu
Singamangaraja XII mulai menyalin kerjasama dengan pihak Aceh. Hal itu
dilakukannya karena ia mencari sekutu melawan para penginjil RMG yang
pengaruhnya di Silindung menjadi semakin terasa dan yang menjalin
hubungan erat dengan pemerintah dan tentara Belanda. Namun alasan utama
maka para misionaris RMG menyebarkan isu bahwa Singamangaraja telah
menjadi seorang Muslim adalah untuk meyakinkan pemerintah Belanda untuk
menganeksasi Tanah Batak. Atas permintaan penginjil RMG, terutama
I.L. Nommensen, tentara kolonial Belanda akhirnya menyerang markas Singamangaraja XII di
Bangkara dan memasukkan
Toba dan
Silindung ke dalam wilayah jajahan Belanda.
Kontroversi perihal agama Singamangaraja hingga kini tidak pernah
reda. Juga sesudah wilayah Batak menjadi bagian dari Hindia Belanda
desas-desus bahwa Singamangaraja XII memeluk agama Islam tidak pernah
berhenti, sampai ada yang menulis bahwa "
Volgens berichten van de
bevolking moet de togen, woordige titularis een 5 tak jaren geleden tot
den Islam zijn bekeerd, doch hij werd geen fanatiek Islamiet en oefende
geen druk op zijn omgeving uit om zich te bekeeren" ("menurut
laporan dari penduduk maka sang raja sekitar lima tahun yang lalu
memeluk agama Islam, namun ia tidak menjadi seorang Islam fanatis dan
tidak berusaha untuk meyakinkan rakyat supaya turut menggatikan
agamanya"). Kemudian dalam sebuah surat rahasia kepada
Departement van Oorlog (Departemen Pertahanan), maka Letnan L. van Vuuren dan Berenschot pada tanggal
19 Juli 1907 menyatakan, "
Dat
het vaststaat dat de oude S.S.M. met zijn zoons tot den Islam waren
overgegaan, al zullen zij wel niet Mohamedanen in merg en been geworden
zijn" ("Bahwa sudah pasti S. S. M. yang tua dengan putra-putranya
telah beralih memeluk agama Islam, walaupun keislaman mereka tidak
seberapa meresap dalam sanubarinya").
Selain laporan oleh para misionaris Jerman dan oleh koran-koran
Belanda, petunjuk lainnya bahwa Singamangaraja XII beralih agama ke
agama Islam termasuk:
- Singamangaraja XII tidak makan babi;
- pengaruh Islam terlihat pada bendera perang Singamangaraja dalam gambar kelewang, matahari dan bulan; dan
- Sisingamangaraja XII memiliki cap yang bertuliskan huruf Jawi (tulisan Arab-Melayu).
Untuk butir 1 dapat dikatakan bahwa bukan hanya Singamangaraja XII
yang tidak boleh makan babi, melainkan hal itu berlaku juga untuk semua
Singamangaraja sebelumnya. Pantangan makan babi tidak ada kaitan dengan
agama Islam melainkan juga berlaku untuk para raja yang beragama Hindu.
Dalam hal ini perlu diingatkan bahwa agama asli Batak sangat kuat
pengaruh Hindu. Untuk butir 2, kelewang, matahari, dan bulan bukan
lambang yang eksklusif Islam. Selain daripada itu perlu diingatkan bahwa
kerajaan Singamangaraja XII dikelilingi oleh kerajaan-kerajaan Islam
sehingga tidak mengherankan kalau ia meminjamkan lambang yang juga
digunakan oleh para raja Melayu. Khususnya untuk butir 3. cap
Singamangaraja telah dianalisis oleh Prof. Uli Kozok.
[2] Selain sebuah teks yang memakai
surat Batak (aksara Batak) terdapat pula sebuah teks berhuruf Jawi (Arab Melayu) yang berbunyi;
Inilah cap maharaja di negeri Teba kampung Bakara nama kotanya hijrat nabi 1304 [?] sedangkan dalam
aksara Batak pada cap itu tertulis
Ahu ma sap tuan Si Singamangaraja tian Bangkara,
artinya "Akulah cap Tuan Si Singamangaraja dari Bangkara". Berdasarkan
analisis empat cap Singamangaraja maka Profesor Kozok tiba pada
kesimpulan bahwa keempat cap Singamangaraja masih relatif baru, dan
diilhami oleh cap para raja Melayu, terutama oleh kerajaan Barus. Pada
abad ke-19 huruf Arab-Melayu (Jawi) umum dipakai oleh semua raja di
Sumatra sehingga sangat masuk akal bahwa Singamangaraja XII juga
menggunakan huruf yang sama agar capnya dapat dibaca tidak hanya oleh
orang Batak sendiri melainkan juga oleh orang luar.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa argumentasi bahwa
Singamangaraja XII telah berpindah agama cukup lemah. Sekiranya
Singamangaraja memang memeluk agama Islam maka pasti ia akan mengimbau
agar rakyatnya juga memeluk agama Islam. Laporan para penginjil seperti
I.L. Nommensen bahwa Singamangaraja telah memeluk agama Islam terutama
dimaksud untuk mendiskreditkan Singamangaraja dan untuk menggambarkannya
sebagai musuh pemerintah Belanda. Oleh sebab itu maka pembaca harus
bersikap sangat berhati-hati terhadap kesimpulan yang sulit dapat
dipertahankan.
Makam
Singamangaraja XII meninggal pada
17 Juni 1907
dalam sebuah pertempuran dengan Belanda di Dairi. Sebuah peluru
menembus dadanya, akibat tembakan pasukan Belanda yang dipimpin Kapten
Hans Christoffel. Menjelang nafas terakhir dia tetap berucap,
Ahuu Sisingamangaraja.
Turut gugur waktu itu dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi,
serta putrinya Lopian. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan di
Tarutung. Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan Belanda
secara militer pada
22 Juni 1907
di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan dipertontonkan
kepada masyarakat Toba. Makamnya kemudian dipindahkan ke Soposurung,
Balige sejak
17 Juni 1953, namun terakhir kembali dipindahkan ke
Pulau Samosir.
[1]
Warisan sejarah
Kegigihan perjuangan Sisingamangaraja XII ini telah menginspirasikan
masyarakat Indonesia, yang kemudian Sisingamangaraja XII diangkat
sebagai
Pahlawan Nasional Indonesia. Selain itu untuk mengenang kepahlawanannya, nama Sisingamangaraja juga diabadikan sebagai nama jalan di seluruh kawasan
Republik Indonesia.